Menjadi sehat jasmani, rohani, maupun sosial seperti dicita-citakan WHO, tentu idaman semua orang. Tapi, untuk mendapatkan ketiganya secara bersamaan, jelas bukan urusan gampang. Perlu pendekatan bersifat holistik. Raga dipulihkan, jiwa diputihkan, dan relasi sosial perlu ditumbuhsuburkan. Bagaimana caranya? Tentu tak cuma dengan menelan obat atau menusukkan jarum suntik berisi obat. Masih butuh "obat-obat" lain.

Sebagai makhluk, manusia memang kompleks. Saking kompleksnya, urusan sepele bisa berbuntut panjang. Apalagi urusan kesehatan, yang mestinya lebih penting dari sekadar berebut jabatan. Nah, untuk mengantisipasi keluhan medis yang makin beragam, belakangan berkembang metode penyembuhan yang melihat manusia secara komplet. Sebutannya penyembuhan dengan pendekatan holistik (holistic approach).

Bukan mainan baru, memang. Karena cikal-bakalnya sudah ada berabad-abad lalu. Tapi, seperti banyak metode pengobatan yang terlupakan, zaman jualah yang kemudian mengangkatnya ke permukaan. Kedatangannya kali ini begitu pas, saat banyak keluhan soal hubungan dokter - pasien kian singkat (bahkan tak jarang pasien menuntut dokter ke pengadilan lantaran kurangnya informasi yang diberikan).

Bukan sekadar jasad
Dr. H. Soesilo Wibowo, Sp.JP, seorang dokter yang sudah lama mempraktikkan pendekatan holistik, dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa waktu lalu, menyebut pengobatan ini sebagai rantai ilmu kedokteran. Di mancanegara, terutama Amerika Serikat, kadang dinamai juga patient centered approach. Intinya, pasien dilihat bukan sekadar tampilan jasad yang harus dibebaskan dari bakteri dan penyakit fisik lainnya.

Dasar pendekatan holistik adalah manusia tidak hanya punya raga, tapi juga jiwa dan hubungan sosial alam semesta. Peran raga, misalnya berkaitan dengan organ-organ nyata, seperti jantung, pembuluh darah, otak, saraf, hati, alat pencernaan, panca indera, serta kelenjar. Sedangkan komponen jiwa terdiri atas roh, akal, nafsu, hati nurani, dan banyak lagi. Sebagai makhluk sosial, manusia juga selalu berinteraksi dengan lingkungannya.

Terganggunya fungsi organ dan hubungan-hubungannya, dipercaya bisa mengundang penyakit. Sebaliknya, kalau organ bekerja optimal dan harmonis, plus menjalankan fungsi "gaulnya" dengan baik, kebugaran dan tingkat kekebalan tubuh bakal meningkat. Dijamin, virus dan bakteri pun bakal jarang menyerang karena sering tak mempan.

Di Inggris Raya, British Holistic Medical Association bahkan melihat pendekatan holistik, sesuai namanya, mirip kanvas kosong, yang siap dilukis dengan beragam warna pendekatan. Tak hanya tergantung pada obat dan pembedahan, tapi juga metode di luar itu, yang kerap dikenal sebagai pengobatan komplementer dan alternatif.

Pengobatan komplementer merupakan upaya untuk melengkapi cara-cara penyembuhan konvensional. Sedangkan alternatif, merujuk pada jenis pengobatan selain konvensional, yang dipilih pasien untuk mengurangi penderitaannya. Dua macam pengobatan ini, sepanjang manfaatnya bisa dijelaskan secara ilmiah, masuk ke dalam kategori holistik.

Pendapat tadi diamini dr. Tb. Erwin Kusuma, psikiater yang juga praktik pengobatan holistik di klinik Prorevital, bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Namun dia juga menambahkan, "Tak semua pengobatan alternatif bisa dimasukkan dalam pendekatan holistik. Inilah yang banyak disalahpahami masyarakat," ujarnya sembari mengingatkan banyaknya klinik holistik yang sebenarnya mengusung pengobatan alternatif berbau mistik.

Erwin mencontohkan, sudah sejak lama dia mengimpor kapsul-kapsul bikinan Jerman yang diramu dari tumbuh-tumbuhan. "Karena sudah diteliti, ramuan yang tadinya alternatif itu akhirnya bisa diterima dunia kedokteran," sahutnya lagi. Atau kepandaian menghipnosis, yang sering diidentikkan dengan kemampuan paranormal. Padahal, dalam ilmu kedokteran sendiri, hipnosis sudah dikenal baik.

Bukan ilmu baru
"Di mancenagera, khususnya negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, pengakuan terhadap manfaat holistik datang begitu cepat," ujar dr. Husein Ahmad, MD, Ph.D., pemilik Indonesia Holistic Medical Centre, Purwakarta, Jawa Barat. Lelaki yang mengaku memelopori masuknya penyembuhan holistik ke Tanah Air (tahun 1993-an) ini bahkan menyatakan, lebih dari 50% dokter di "Barat" (asal ilmu pengobatan konvensional yang mengandalkan obat kimia dan pembedahan) beralih ke holistik.

"Idealnya, seorang dokter memang harus paham dan mempraktikkan pendekatan ini. Karena mereka tak hanya bertugas mengobati gejala penyakit, tapi juga membuat pasien sehat jiwa- raga," timpal Erwin Kusuma. "Ingat, sebagai dokter, mereka dikontrak belajar seumur hidup lo," kata pria berkacamata ini.

Di Indonesia sendiri, penyembuhan holistik baru mulai ramai dikunjungi pasien dalam sepuluh tahun terakhir. "Tapi sebagai bagian dari ilmu kedokteran, keberadaannya sudah sangat tua," tambah Erwin. Jadi, sama sekali bukan barang baru. Bahkan konsep remembered wellness-nya Benson, merupakan pengembangan dari yang dulu dikenal sebagai efek plasebo.

Sayangnya, di kalangan kedokteran ada kecenderungan memandang plasebo sebagai sesuatu yang bersifat kebetulan belaka. Jarang sekali yang memperhatikan, jika pasien sembuh karena minum obat berisi gula (namun diyakininya sebagai obat beneran), sebenarnya keyakinan si pasienlah yang membuat plasebo ampuh. Diyakini, tubuh manusia sanggup mengonversi keyakinan seseorang ke dalam bentuk instruksi fisis. Ini dibuktikan ketika pertengahan 1970-an, Benson dan beberapa koleganya menemukan betapa efektifnya efek plasebo ini, dengan tingkat keberhasilan menakjubkan, 70 - 90%. Jauh lebih besar dari perkiraan daya sembuh plasebo masa itu.

Buka juga file-file lama. Misalnya tahun 1964, saat Massachussetts General Hospital mengadakan riset. Dua kelompok pasien peserta operasi yang sama, diperlakukan berbeda oleh dokter ahli anestesinya. Kepada satu kelompok, ia bicara seadanya, sementara ke kelompok lain bersikap hangat, seperti duduk di tepi ranjang pasien, menjelaskan langkah-langkah yang bakal diambil, serta menggambarkan sakit yang kira-kira bakal dirasakan. Hasilnya, pasien kelompok kedua tinggal di rumah sakit rata-rata lebih cepat 2,7 hari ketimbang kelompok pertama. Rasa sakit yang mereka derita juga lebih sedikit.

Kalau mau data lebih kuno, ini dia. Hippocrates (bapak ilmu kedokteran, hidup di Yunani abad ke-5 SM) mencatat 12 kasus yang disebut pseudocyesis. Dia menemukan 12 wanita, karena keinginan hamilnya sangat besar, lantas membayangkan dirinya hamil. Olala, haid pun langsung terhenti, disusul menggembungnya kandungan. Bahkan, Ratu Mary Tudor yang memerintah Inggris abad ke-16, beberapa kali mengalami hamil anggur sembilan bulan penuh. Dua kali di antaranya sempat mengalami sakitnya proses melahirkan. Hanya saja, tanpa satu jabang bayi pun yang mengoek.

Cerita berlanjut ke tahun 1951, masa Dr. Paul H. Fried dan rekan dari Jefferson Medical College and Hospital, Philadelphia mencatat kasus serupa. Selain terhentinya haid, membesarnya perut sesuai dengan bulan kehamilan normal, payudara pun membesar dan makin peka, serta berubah ukuran dan warna (maaf) putingnya. Ada juga lo yang sampai meneteskan air susu.

Anehnya, Dr. James A. Knight dari Baylor University juga mencatat seorang pria korban hamil palsu ini. Wah, kalau sampai meneteskan air susu juga, bisa-bisa nantinya ada istilah air susu bapak (ASB), 'kan?

Hampir seragam
Begitulah ceritanya, holistik memang beranjak dari empati terhadap diri sendiri. Dengan mengandalkan relaksasi, penghargaan terhadap kekuatan bawah sadar serta eratnya tautan jiwa-raga.

Karena menghindari penggunaan obat-obat kimia, pembedahan, dan pengobatan konvensional lainnya, holistic approach lazimnya menawarkan berbagai metode terapi, baik yang langsung ditujukan ke bagian yang sakit maupun tidak. "Tapi kalau pasien yang datang masih dalam terapi dokter, kita persilakan mereka tetap minum obat," ujar Janti Atmodjo dan Jeanny N. Sugandi, dua punggawa Sanjiwani.

"Itu karena terapi kita memang bersifat melengkapi pengobatan medis. Wong kita juga punya tenaga dua dokter, kok," tambah Janti, doktor metafisika lulusan sebuah universitas di Alabama, AS. Ada beberapa terapi alternatif andalan di Sanjiwani. Kalau satu jenis terapi tak mencukupi, metode-metode tadi bisa digabungkan untuk mempercepat penyembuhan. Lantas, bagaimana cara mengukur keberhasilan pengobatan? "Ada yang parameternya subyektif, seperti perasaan atau tingkat kenyamanan pasien. Tapi bisa juga dengan melihat perkembangan catatan medisnya," tutur Janti lagi, yang rata-rata kebagian 100-an pasien per minggu.

Mengalirkan energi memang salah satu metode penyembuhan favorit, sekaligus andalan klinik holistik. Tapi, buat yang lebih suka berkonsentrasi dalam semedi, beragam cara, gaya, dan nama meditasi disediakan, mulai yoga hingga moving meditation versi Prorevital. Konon, salah satu kata kunci dalam pengobatan holistik adalah rileks. Dan sampai hari ini, meditasi masih jalan tol termurah untuk sampai ke sana.

Selain yang seragam, lazimnya sebuah klinik punya layanan andalan. Prorevital misalnya, berpengalaman mengusung terapi hipnosis untuk menyembuhkan penyakit fisik yang dampaknya diduga menyentuh unsur kejiwaan. "Kalau seorang pasien punya penyakit kambuhan yang selalu datang dan pergi, padahal semua obat konvensional sudah ditelan, boleh jadi sumber masalahnya bukan di badan," celoteh Erwin Kusuma.

Sedangkan Husein Ahmad, menyodorkan tak kurang dari 25 metode terapi. Tapi, seperti diakuinya sendiri, penyedia 25 kamar inap di rumah sakitnya yang megah ini tampak lebih fokus pada keseimbangan nutrisi sebagai obat alami.

Alasannya, "Hampir semua penyakit bersumber dari pola hidup dan pola makan yang salah," yakin Husein. Itu sebabnya, kebanyakan gangguan kesehatan selalu diiringi menurunnya selera makan. So,, jalan terbaik untuk memperbaiki kerusakan tubuh adalah dengan melakukan perubahan pola hidup dan pola makan. "Kalau Anda tanya soal obat, resep pertama saya adalah nutrisi, bukannya obat-obatan kimia," tegas dokter yang kerap dikunjungi pasien yang pejabat tinggi ini.

Lantas, penyakit apa saja yang bisa disembuhkan para dokter berpendekatan holistik ini? "Hampir semua. Penyakit berat seperti stroke atau kanker pun bisa," koor mereka senada. Malah, diam-diam, mereka kerap menerima kiriman pasien dari dokter-dokter konvensional yang divonis tak lagi punya peluang sehat. Setelah sembuh, pasien bisa langsung "putus hubungan" dengan sang dokter holistik, atau meneruskan terapi guna merawat kebugaran.

Lagi pula, "Kedokteran konvensional juga merupakan bagian dari lingkaran holistik," bilang Husein Ahmad. Karena pada prinsipnya, penyembuhan holistik bukan upaya secepat kilat, yang bisa langsung bikin orang sehat dalam satu dua kali terapi. Itu sebabnya, seperti diakui Husein, untuk penyakit tertentu semisal kanker stadium tinggi atau serangan jantung mendadak, tambahan obat-obatan hingga pembedahan tetap diperhitungkan.

Satu-satunya gambaran kurang menguntungkan di tengah kompletnya layanan klinik holistik, barangkali persepsi masyarakat. Terutama anggapan bahwa ongkos berobat yang harus dikeluarkan di atas standar, kalau tak mau disebut mahal.

"Kalau dijalani semua, memang mahal. Tapi 'kan tidak seperti itu praktiknya," tegas Erwin Kusuma. Pasalnya, setelah dilakukan diagnosis, lazimnya kemudian ditentukan kebutuhan utama pasien. "Sama seperti kita melihat pemandangan, dari sekian banyak yang dilihat, pada akhirnya akan tertuju ke tempat tertentu," tambah Erwin.
Di klinik holistik, perbedaan karakter pasien sangat diperhatikan. "Kami percaya, jalan penyembuhan tiap orang dari sononya memang berbeda-beda," ucap Janti Atmodjo. Meski penyakitnya sama, kombinasi pengobatan bisa tak senada.

Misalnya, ada seorang pasien tidak bisa terlelap dalam gelap. Namun sebaliknya, pasien lain malah bisa ngorok berjam-jam, justru kalau lampunya dimatikan. Coba, kalau perlakuan terhadap mereka disamaratakan, yang sehat bisa makin sehat, sementara yang sakit kian jadi pesakitan.

Banyak kacamata
Langkah serupa juga harus dilakukan sebelum melakukan pembedahan. Sebelum membedah kaki seorang wanita contohnya, mesti dicari dulu latar belakang wanita yang bakal masuk ruang operasi. Jika dia seorang peragawati, kaki nan mulus tentu jadi harapan akhir. "Tapi kalau pekerjaan sehari-harinya penjual sayur, kaki yang kuat jelas lebih dibutuhkan," tutur Erwin.

Selain perhatian lebih dari dokter, kompletnya pengobatan mendatangkan keuntungan tersendiri buat pasien. Kalau mampir ke dokter konvensional, keluhan sakit maag misalnya, boleh jadi ditanggapi sebagai gejala penyakit yang menyerang lambung thok. Tapi di tangan dokter holistik, maag tadi bisa dipandang dari berbagai kacamata, termasuk ilmu kejiwaan, dengan harapan: sembuh total, tanpa pernah kambuh lagi.

Jadi, soal mahal atau murah memang relatif adanya. Pukul rata, tarif sekali berkunjung antara Rp 25.000,- - Rp 75.000,-. Di Sanjiwani, umumnya frekuensi kunjungan pasien (hingga sembuh) antara 6 - 10 kali. "Tapi, kita juga mengajarkan metode terapi kita sebagai bekal, hingga setelah sembuh, bisa dicoba sendiri di rumah," bilang Janti. Sedangkan di Prorevital, harga paket kebugarannya antara Rp 500.000,- - Rp 1 juta. Pun termasuk bekal pengetahuan menjaga kebugaran seumur hidup.

"Kalau dipikir-pikir, harusnya tarif kita malah lebih mahal dari dokter spesialis, ya," canda Husein Ahmad. Sambil tetap terkekeh, dokter yang pernah memperdalam filsafat kedokteran, yoga, homeopati, serta akupuntur di mancanegara ini kemudian menambahkan, "Untuk sekarang ini, yang penting misi health education-nya sampai dulu ke masyarakat," jelasnya.

Pernyataan Husein dikuatkan Erwin dan Janti. "Kami menyadari, menjelaskan sesuatu yang tak kasat mata memang sulit," jelas mereka senada. Tapi pelan-pelan, mereka mencoba membongkar persepsi-persepsi salah masyarakat tentang pengobatan alternatif dan komplementer. Seperti pendapat bahwa hanya penderita kelainan jiwa yang biasanya pergi ke psikiater. Padahal, sebelum menyerang fisik, penyakit biasanya lebih dulu mengganggu jiwa manusia.

Nah, masih dalam kerangka health education juga, upaya mereka menjelaskan "pada dunia" bahwa metode pengobatan yang mereka usung memang ilmiah dan ada dasarnya. "Lumayan, sekarang mulai jarang lagi orang yang datang hanya untuk mencari jimat," ujar Janti melucu.

Praktiknya, mereka juga mencoba menanamkan kepada klien dan pasien agar menyikapi hidup secara lebih positif, tanpa menimbulkan ketergantungan. Itu sebabnya, terapi yang dijalani pada akhirnya akan menjurus pada kemampuan memecahkan masalah sendiri. "Banyak pasien kami, dulunya datang dan diobati pakai Reiki, sekarang malah jadi penyembuh di lingkungannya," cerita Jeanny, rekan Janti di Sanjiwani.

Upaya pemberdayaan ini juga termasuk mengganti pita "rekaman" masa lalu yang sudah dianggap usang. Misalnya, banyak orang tua yang menanamkan kepada anak-anaknya sejak kecil, bahwa makan buah di pagi hari bisa bikin sakit perut. Kalau rekamannya terus berbunyi seperti itu, sampai tua pun akan terus sakit perut. Mereka yang tak peduli pada rekaman seperti itu, justru perutnya jarang kena gangguan. Maka, digantilah rekaman negatif dengan "kaset" lebih positif.

Pemahaman tentang eratnya tautan jiwa-raga, juga membuat pendekatan holistik menggelitik kalbu. "Bahkan kerap menggugah orang untuk berpikir bahwa umur itu memang benar-benar ada di tangan Tuhan," tegas Janti.

Pasien yang telah divonis mati oleh dokter contohnya, bila diajak bicara soal penyakitnya, dijamin langsung stres. Dunia rasanya sempit, pit, pit. Tapi bagaimana jika diajak mengisi umurnya yang mungkin tinggal sekian itu dengan hal-hal yang bermanfaat? "Sering kita dapati, kepasrahan seperti itu malah menumbuhkan energi positif. Yang berdampak pada kebugaran fisik," bilang Janti lagi.

Satu lagi harapan menyertai maraknya pendekatan holistik ini, yakni merapatnya kembali hubungan pasien - dokter. Jika seorang Husein Ahmad bisa meluangkan waktu 30 menit hingga 1 jam untuk menemani pasiennya, tentu kualitas hubungan yang dibina tak bisa lagi dibilang rendah. Bahkan mereka sepakat, kehangatan dan perhatian merupakan obat yang tak kalah mahal dibanding pil dan jarum suntik.

Toh, di balik berbagai keuntungan tadi, Erwin dan Husein tetap mengingatkan agar masyarakat tidak terjebak pada tawaran-tawaran klinik berbau holistik. "Masyarakat harus selektif," pesan Husein. Jadi, kalau ada seorang dokter berpraktik pendekatan holistik mengaku bisa mengeluarkan sesuatu dari kepala hanya bermodalkan mantra, mirip adegan sulap, tentu bukan holistik lagi namanya. "Secara logika, prosesnya tak bisa dijabarkan, kok."

Husein juga mencontohkan kemampuan yang mutlak dimiliki seorang dokter holistik, yakni pengetahuan luas tentang pengobatan alternatif yang diusungnya. Misalnya, metode akupuntur sangat cocok diterapkan untuk pasien berpenyakit stroke. Tapi, jangan sekali-kali akupuntur atau pijat refleksi untuk penderita kanker. "Metode-metode tadi berpotensi mengaktifkan dan menstimulasi aliran darah, sementara kanker menyebar lewat darah. Lha, penyakitnya nanti malah menyebar," tutup lelaki berkumis tebal ini.