Mirip fungsi tenaga satpam, tubuh kita juga punya aparat yang selalu bersiaga terhadap ancaman. Namanya sistem kekebalan atau imunitas tubuh (sistem imun). Sayangnya, dalam kondisi tertentu "satpam" dengan kesiagaan 24 jam itu bisa loyo atau malah pingsan sama sekali. Untuk mengembalikannya ke kondisi siaga, ada bahan-bahan alami yang bisa dimanfaatkan.
Rasanya tidak terlalu salah, jika analogi tenaga satpam, diberikan kepada sistem imun kita. Sebab, fungsi utama sistem imun memang menghalau segala potensi gangguan kesehatan tubuh dalam bentuk apa pun. Baik dari dalam maupun luar tubuh.
Ancaman bagi tubuh bisa terjadi setiap saat. Bahkan dari situasi sehari-hari yang mungkin kedengarannya sepele. Saat kita stres, misalnya, otak mengeluarkan kortisol yang ujung-ujungnya menekan sistem imun. Kuman yang mestinya dibasmi olehnya malah merajalela.
Coba, berapa kali kira-kira Anda stres dalam sehari?
Padahal, masih banyak kondisi lain yang bisa menekan kerja sistem imun dalam membentengi diri kita. Di antaranya pengaruh alam (cuaca misalnya), wabah penyakit, pola hidup, pola makan, lingkungan yang terpolusi, atau ketika sedang menderita penyakit tertentu.
Pendeknya, manusia di zaman modern dan tinggal di perkotaan nyaris tidak bisa menghindar dari kondisi yang merugikan tubuh. Persoalannya sekarang, bagaimana mencegah agar segala bentuk gangguan tadi tidak berubah menjadi penyakit berkepanjangan.

Ronda Siskamling
Sejujurnya, agak rumit menjabarkan secara komplet tentang profil sistem imun tubuh. Sistem ini amat berjasa menjaga kelangsungan hidup kita agar senantiasa dalam keadaan aman bin sentosa. Statusnya sama seperti sistem-sistem lain, misalnya sistem peredaran darah, pencernaan, atau reproduksi.
Secara spesifik lagi, ada tiga fungsi dari sistem yang juga sering disebut sebagai sistem kekebalan tubuh ini. Pertama, sebagai pertahanan tubuh. Tugasnya menangkal segala gangguan penyakit. Dalam kondisi sehat dan bugar, nyaris tak ada bibit penyakit yang bisa berbuat banyak di tubuh.
Kedua, menjaga keseimbangan pergantian sel. Seperti diketahui, sel-sel tubuh kita punya daur hidup sendiri dan secara periodik miliaran sel akan berganti dengan yang baru. Sel darah merah, misalnya, berganti setiap 40 hari. Sel kulit akan rontok setiap 21 - 28 hari. Nah, petugas yang mengatur mulusnya proses pergantian itu tidak sistem imun itu.
Ketiga, fungsi sistem imun adalah surveillance, perondaan. Ronda keliling, mirip siskamling, ke seluruh tubuh bertujuan mengecek sel-sel yang bermutasi. Jika mutasi tidak terkontrol, dikhawatirkan sel bakal berubah sifat. Dari yang tadinya baik-baik saja berubah menjadi sel ganas penyebab kanker. Kalau kejadiannya sudah begitu, urusannya tentu bisa gawat.
Menyimak tiga fungsi tadi, jelas sekali betapa penting dan berjasanya sistem imun. Hanya masalahnya, sistem yang tersebar meliputi hampir seluruh tubuh ini kondisinya bisa naik-turun karena faktor-faktor di atas tadi. Yang juga tidak bisa dilupakan, sistem ini berkembang sesuai umur manusia.
Pada bayi dan balita, sistem kekebalan tubuh begitu lemah, untuk kemudian berkembang seiring usia. Kondisi optimal dicapai pada usia dewasa (17 - 50 tahun) dan setelah itu menurun kembali di usia penuaan (lebih dari 50 tahun). Maka, kelompok usia di luar kondisi optimal membutuhkan perhatian ekstra.

Bukan main gerus
Jika kebetulan sistem imun dirasa sedang loyo, kita sebenarnya punya banyak pilihan untuk mendongkraknya naik kembali. Secara tradisional, banyak bahan alami yang bisa dimanfaatkan, seperti pegagan, mahkota dewa, daun dewa, sambiloto, jahe, mengkudu, atau meniran. Di masyarakat masing-masing tanaman itu sudah teruji empiris mampu membuat tubuh sehat walafiat.
Namun, tahukah Anda, penggunaan tanaman berkhasiat obat bukan asal main gerus atau rebus, lalu diminum airnya. Sebuah tanaman obat, bagaimana pun saktinya, mengandung ratusan bahan kimia yang efeknya berlainan bagi tubuh. Untuk mengetahui manfaat pastinya, dibutuhkan serangkaian pengujian di laboratorium dan klinik.
Satu contoh tanaman obat tradisional yang sudah teruji adalah meniran (Phyllanthus niruri L.). Ekstrak meniran bahkan sudah masuk kategori obat bersertifikat Fitofarmaka bermerek Stimuno, produksi PT Dexa Medica. Dokter meresepkannya sebagai imunomodulator atau obat yang diyakini mampu memperbaiki sistem imun (Fitofarmaka Jamu Yang Naik Kelas)
Sejak zaman nenek moyang, meniran telah dimanfaatkan untuk berbagai keluhan penyakit. Radang dan batu ginjal, susah buang air kecil, disentri, ayan, penyakit liver, sampai rematik. Walau buahnya cuma se-menir (remukan butiran beras), khasiatnya ternyata jempolan.
Dari ratusan kandungan kimia dalam meniran, yang dimanfaatkan hanya flavonoidnya. Pada tanaman lain flavonoid sejenis ini sebenarnya juga ada. Bedanya, pada meniran peningkatan aktivitas sistem imunnya ternyata lebih baik.
"Rumus dasar flavonidnya sama, tapi tambahan gugusan yang dimiliki meniran berbeda," jelas Dr. Suprapto Ma’at, peneliti dari Lab. Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
Flavonoid perlu dipisahkan lantaran kandungan kimia lain punya efek juga bagi tubuh. Misal, ada kandungan yang berfungsi memperlancar air seni (diuretik), karenanya meniran biasa digunakan juga sebagai jamu pada penderita susah kencing. "Ini ’kan tidak diperlukan untuk meningkatkan sistem imun," tutur Suprapto yang lebih dari 10 tahun meneliti meniran. "Kecuali kalau pasiennya kepingin kencing terus, biar kurus, he-he-he."
Flavonoid dari meniran bekerja pada sel-sel tubuh yang menjadi bagian dari sistem imun. Caranya dengan mengirimkan sinyal intraseluler pada reseptor sel, sehingga sel bekerja lebih optimal. Jika sistem imun dalam sel berfungsi memakan bakteri (fagosit), maka nafsu makannya jadi tambah lahap. Jika fungsinya mengeluarkan mediator yang menambah ketahanan tubuh, hasil pengeluarannya akan lebih baik. Atau jika kerjanya mengurai sel lain, proses urainya berlangsung mulus.
"Bagusnya, ekstrak meniran bukan cuma menaikkan sistem imun, tapi mengendalikannya sehingga tetap seimbang. Di sini ada semacam prinsip yin dan yang seperti dalam pengobatan Cina," terang Suprapto dengan dialek Suroboyoannya yang khas.

Sengaja dibikin loyo
Sejauh ini, obat yang berfungsi sebagai imunomodulator kebanyakan berasal dari hijau-hijauan alias bahan herbal. Dari bahan kimia sintetik, boleh dikatakan sangat jarang, jika tak boleh dikatakan tidak ada. Salah satunya isoprenosine, obat pembasmi virus yang bekerja dengan cara menaikkan sistem imun.
Obat-obat yang melemahkan sistem imun, biasa disebut imunosupresan, justru lebih banyak. Namun hati-hati, ini bukan obat sembarangan. Hanya dipakai pada kasus di mana agresivitas sistem imun justru telah membahayakan tubuh. Seperti pada kasus pasien cangkok jantung, cangkok ginjal, dan cangkok-cangkok organ tubuh lain (jikalau kelak ada).
Pada kasus cangkok organ tubuh, sistem imun penerima donor sengaja dibikin loyo agar organ cangkokan tidak dihajar karena dianggap tamu tak diundang. Risikonya, bisa terjadi ketidakseimbangan bakteri di tubuh (mulut, usus, atau vagina) akibat tidak berfungsinya sistem imun.
Karena mendongkrak sistem imun, imunomodulator jelas tidak cocok diberikan pada kasus autoimun. Misal pada idiopatic thrombocytopenic purpura (ITP), ketika sistem imun justru menghancurkan tubuhnya sendiri. Begitu pula systemic lupus erythematosus, biasa disebut lupus saja, saat sistem imun terbutakan matanya. Gara-gara buta, dia malah menghajar organ tubuh tuannya sendiri seperti hati, jantung, paru-paru, atau ginjal.
Dalam pengobatan penyakit, kini imunomodulator juga diresepkan dokter sebagai terapi ajuvan. Artinya, obat yang dikonsumsi sebagai penunjang obat utama, bahkan diyakini bisa meningkatkan potensinya. Namun, dalam hal ini sifatnya tidak wajib.
Berdasarkan penelitian di sejumlah rumah sakit di Jakarta dan Surabaya, terapi ajuvan dengan Stimuno telah berhasil mempersingkat jangka waktu pengobatan pada beberapa penyakit seperti TBC, hepatitis, candidiasis vaginalis, dll. Jadi, flu yang biasanya butuh pengobatan seminggu, kini ada harapan bisa dituntaskan dalam tiga atau empat hari saja. Apakah kira-kira manfaatnya sebanding? Ya, semua terpulang pada keinginan pasien.

Netralkan bisa ular
Selain meniran, bahan alami tanaman echinacea (Echinacea angustifolia) juga diyakini dapat meningkatkan sistem imun. Tanaman asli Amerika Utara ini pertama kali dimanfaatkan dukun-dukun Indian sebagai pencegah infeksi, sakit tenggorokan, mengobati luka, sampai menetralkan racun bisa ular. Bisa disebut inilah tanaman sakti dari negeri seberang.
Di sebuah media massa, David Gusrizal, peneliti tanaman, menulis bahwa yang berperan merangsang sistem kekebalan tubuh adalah komponen polisakarida larut air yang dikenal sebagai inulin. Kandungan inulin yang banyak terdapat pada akar ini bisa meningkatkan aktivitas produksi limfosit-T dan sel NK. Dua sel itu merupakan motor dalam sistem kekebalan tubuh kita.
Echinacea sekarang telah dikemas modern. Di Amerika dan Eropa beredar pada kategori makanan kesehatan herbal penambah daya tahan tubuh, terutama untuk mencegah flu. Belakangan, ekstraknya dikhasiatkan juga sebagai imunostimulan, atau merangsang sistem imun.
Sepintas, imunostimulan kedengarannya beda-beda tipis dengan imunomodulator. Namun, rangsangan (stimulan) terhadap sistem imun saja tanpa adanya keseimbangan (seperti pada imunomodulator) ternyata ada batasnya. Konsumsi imunostimulan sebenarnya tak boleh lebih dari seminggu, seperti ditulis dalam kemasan produknya.
Obat-obatan dari bahan herbal memang dikenal aman, karena konon tanpa efek sampingan. Namun, sebelum mengonsumsinya, alangkah bijaksana bila kita mengenalnya lebih dulu secara baik.
Sumber : kompas