Tidak banyak orang hobi menulis buku harian. Padahal dengan mengungkapkan segala masalah, emosi dan persoalan yang dihadapi dalam buku harian, langkah ini bisa jadi terapi untuk menyembuhkan trauma emosional yang dihadapi.
Empat tahun lalu, Veronica Chapa mengalami depresi berat. Dia patah hati. Kecewa dengan mantan pacarnya dan merasa heran kenapa dia bisa memilih lelaki macam Joni yang tidak pernah punya perhatian sedikitpun pada dirinya.
Tidak mau melakukan kesalahan yang kedua kalinya, Veronica mengikuti sebuah terapi. Harapannya dengan terapi itu dia bisa mengenal dirinya sehingga tidak salah lagi dalam berkeputusan. Ikutlah dia dalam sebuah kelompok terapi menulis.
Karena latar belakangnya adalah penulis di bidang marketing, Vero, begitu gadis usia 29 tahun disapa, merasa terapi ini tampaknya tidak begitu sulit dan akan mudah untuk diikutinya. Namun, kelihatannya dugaan Vero meleset. “ Saya tahu, saya hanya tinggal menulis pada kertas kosong yang disediakan, tapi rasanya kok sulit ya menulis tentang diri sendiri,” jelasnya.
Pemimpin lokakarya ini, Michele Weldon, penulis buku berjudul Writing to Save Your Life memiliki solusi sederhana buat Vero. “Tulislah surat untuk diri sendiri,”. dan Vero pun mulai menemukan kuncinya. Lalu, mulailah dia menangis, beberapa menit setelah menulis dua kata di kertasnya, berbunyi “Dear Veronica.”
“Sekali dua kata itu tertuliskan, langsung terbukalah kepenatan, kekecewaan serta kegelisahan yang saya alami. Semuanya seolah mengalir dan membual keluar tanpa bisa ditahan,” ungkap Veronica.
“Sekali dua kata itu tertuliskan, langsung terbukalah kepenatan, kekecewaan serta kegelisahan yang saya alami. Semuanya seolah mengalir dan membual keluar tanpa bisa ditahan,” ungkap Veronica.
Mirip dengan Chapa, kali ini pengalaman datang dari seorang mahasiswi di sebuah Universitas di Jakarta. Sebut saja namanya Dian. Gadis manis usia 22 tahun ini bercerita kepada SENIOR. “Setiap kali saya ada masalah, selalu yang menjadi teman buat penghibur adalah buku harian saya,” jelas gadis asal Semarang ini.
Buku ini, cerita Dian, adalah tempat curahan hatinya. Banyak kali dan apa pun masalah yang dialaminya, Dian ceritakan semuanya lewat kata-kata dan tulisan. “Mungkin bisa jadi novel kalau seluruh cerita di gabung-gabung,” ungkapnya.
Dan memang, menurut Dian, buku harian itu layaknya seorang terapis yang bisa menyembuhkan segala gundah gulanda yang dialaminya. Kekecewaan dan semua perasaan hati yang tidak menyenangkan bisa sedikit demi sedikit hilang seolah ditelan habis oleh lembaran-lembaran kertas wangi buku hariannya.
Kuncinya Berani Mulai
Chapa dan Dian hanyalah sedikit contoh orang yang mencoba menggunakan tulisan sebagai satu cara untuk masuk ke dalam dirinya sendiri. Hanya dengan mengambil pena lalu menuliskan segalanya, semua persoalan yang mengganjal dan membebani membalik menjadi sesuatu yang lebih menantang.
Namun, “Begitu banyak orang merasa tidak bisa dan kesulitan memulai semuanya,” jelas natalie Goldberg, pengarang buku Writing Down the Bones. Namun seperti Chapa dan Dian, kuncinya adalah berani untuk mulai. Dengan sendirinya, kita akan menemukan gaya tulisan kita.
Seiring dengan populernya terapi ini, para psikolog kemudian menemukan bahwa ternyata bentuk terapi tulisan ini tidak bisa diterapkan untuk setiap orang. Bentuk tulisan lain mungkin akan lebih berguna dalam membantu mencapai transformasi pribadi. “Tidak ada bentuk tunggal. Setiap orang memiliki gaya dan modelnya masing-masing,” jelas James W. Pennebaker, psikolog dari University of Texas di Austin. “Selain itu, trauma yang dialami antara orang yang satu dengan yang lain sangat berbeda.
Kadar kesulitan dan beratnya masalah juga berbeda,” tegas James.
Meski demikian, menurut James, tulisan terutama yang berisi ungkapan hati, bagi penulisnya sendiri memiliki potensi besar dalam menyembuhkan ketidakseimbangan emosi. Bahkan bisa juga meredam gejala-gejala yang muncul akibat penyakit kronis.
Meski demikian, menurut James, tulisan terutama yang berisi ungkapan hati, bagi penulisnya sendiri memiliki potensi besar dalam menyembuhkan ketidakseimbangan emosi. Bahkan bisa juga meredam gejala-gejala yang muncul akibat penyakit kronis.
Beberapa tahun lalu, James Pennebaker adalah psikolog yang dikenal sebagai penulis dan penggagas mengenai manfaat tulisan dalam menyembuhkan trauma emosional. Dalam tulisannya, James bahkan menyebutkan kalau tulisan yang berupa ungkapan hati pribadi seseorang bisa meningkatkan fungsi kekebalan tubuh. Dalam penelitian lain, bahkan ditemukan bahwa asma dan arthritis dapat diredam dan diperbaiki dengan metode menulis seperti ini.
Mengambil Jarak
Apa sebenarnya yang terjadi saat menulis sehingga tulisan tampaknya memiliki kekuatan luar biasa menyembuhkan trauma fisik dan psikis? James menyebutkan, ketika seseorang mulai menuliskan seluruh emosi dan pengalamannya dalam sebuah tulisan, dia seolah menempatkan seluruh pengalamannya itu dalam sebuah frame seperti Anda meletakkan foto diri Anda dalam sebuah figura.
Saat itulah, Anda bisa melihat dengan jelas masalah apa yang sebenarnya Anda hadapi. Menulis, menurut James adalah sebagian langkah menuju tindakan refleksi. Sehingga harapannya, segala persoalan akan bisa dianalisis atau dilihat lagi secara proporsional. Namun, kalaupun tidak dilihat lagi, tulisan tetap membantu.
Secara filosofis, langkah menulis memberi jarak antara Anda sendiri dan masalah yang sedang dihadapi. Karenanya, seluruh pengalaman bisa dilihat lagi dengan jelas dan Anda menjadi tidak terobsesinya olehnya. Dengan mengambil jarak inilah, proses penyembuhan berlangsung.
Sumber : kompas.co.id
0 Responses to "Sembuhkan Trauma dengan Menulis"