Banyak orang percaya pada kehebatan pengobatan tusuk jarum (akupunktur), tapi banyak juga yang menyangsikannya. Tapi sebuah eksperimen di laboratorium membuktikan tusuk jarum memang dapat memberikan efek pereda nyeri.
Efek tersebut meningkat hingga 3 kali lipat saat dikombinasikan pemberian obat leukemia, deoxycoformicyn.
Menusukkan jarum kemudian memutar-mutarnya di tiap periode tertentu merangsang senyawa kimia bernama adenosin, yang secara alami terdapat dalam tubuh. Senyawa tersebut berfungsi untuk menekan rasa nyeri.
Dikutip dari AFP, eksperimen tentang hal itu dilakukan terhadap seekor tikus, dengan menyuntikkan senyawa kimia pada salah satu lengannya. Senyawa tersebut memicu terjadinya inflamasi yang disertai rasa nyeri.
Kemudian peneliti menusukkan sebuah jarum pada salah satu titik di lutut si tikus. Dalam akupunktur, titik tersebut dikenal sebagai titik Zusanli.
Setelah menancap, jarum lalu diputar-putar setiap jeda 5 menit dan diulang terus hingga 30 menit. Prosedur ini mengacu pada tata cara standar dalam ilmu akupunktur.

Selama 30 menit itu, level adenosin di sekitar titik penusukan meningkat hingga 24 kali lipat. Demikian juga sesaat setelah jarum dicabut.
Sementara rasa nyeri pada tikus itu berkurang 2/3 kali jika dibandingkan dengan tikus yang tidak ditusuk jarum. Hal ini teramati dari respons para tikus terhadap papan panas.
Uji coba yang sama juga dilakukan terhadap jenis tikus yang secara genetis kekurangan adenosin. Namun ternyata pada tikus tersebut, akupunktur tidak memberikan efek seperti pada tikus yang lain.
Selanjutnya peneliti melakukan eksperimen dengan obat leukemia, deoxycoformycin. Obat ini akan menguatkan efek adenosin dengan cara menghambat pengeluaran senyawa tersebut dari jaringan yang terserang nyeri.
Sesuai dugaan, hasilnya adenosin terakumulasi atau menumpuk di jaringan tersebut. Dampaknya, durasi efek akupunktur dalam meredakan nyeri menjadi lebih panjang hingga 3 kali lipat.
"Di beberapa tempat di dunia, akupunktur telah berdampingan dengan dunia medis selama 4.000 tahun. Namun tidak pernah dipahami secara menyeluruh karena orang cenderung skeptis (ragu-ragu) menyikapinya," ujar Maiken Nedergaard dari University of Rochester, New York, yang melakukan penelitian itu.
Penelitian-penelitian sebelumnya lebih difokuskan pada efektivitas akupunktur di sistem saraf pusat. Di lokasi tersebut, akupunktur memicu pengeluaran senyawa antinyeri di otak, yang disebut endorphine.
Eksperimen yang dilakukan Nedergaard telah dipublikasikan dalam jurnal Nature Neuroscience edisi 30 Mei 2010. Menurut rencana, ia juga akan mempresentasikannya dalam rapat ilmiah Purines 2010 di Barcelona pekan ini.
Sumber : detik.com