Upaya menempatkan obat herbal sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan formal harus disertai peningkatan mutu, standardisasi dari hulu ke hilir, dan pelaksanaan uji farmakologi agar terbukti khasiat dan keamanannya. Tujuannya untuk menghindari kemungkinan adanya efek samping obat herbal dan memenuhi sebagian kebutuhan obat nasional.

"Selama ini upaya beralih ke obat herbal masih sulit dilakukan karena khasiat dan keamanannya belum terjamin, kandungan senyawa aktifnya belum terstandar, sehingga sulit menentukan dosis pemakaian," kata Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Medika Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rifatul Widjhati.

Menanggapi pernyataan dr Hedi R Dewoto dari Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI mengenai efek samping penggunaan sejumlah obat herbal, Rifatul menyatakan, kandungan pada bahan alam umumnya bersifat seimbang dan saling menetralkan. Jadi, efek samping obat herbal jauh lebih kecil dibandingkan dengan obat sintesa.

Menurut Rifatul, tumbuhan umumnya punya ratusan senyawa kimia dan ada yang memiliki efek keras atau toksik, di antaranya senyawa berkhasiat anti- kanker, digitalis sebagai obat jantung pada tanaman Ephedra.
Namun, obat herbal produk lokal di Indonesia jarang menimbulkan efek berbahaya karena sudah dikenal turun-temurun. Diakui, ada sejumlah tanaman obat yang belum dikenal efek toksisitasnya, tetapi belakangan ini banyak beredar, misalnya buah mahkota dewa dan buah merah papua.

Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Prof Wahono Sumaryono menambahkan, penggunaan obat secara majemuk (polifarmasi) tanpa penjelasan aturan pemakaian yang benar bisa menimbulkan interaksi yang merugikan. Hal ini bisa terjadi pada interaksi obat herbal dengan obat modern, atau interaksi antarobat modern yang reaksinya berlawanan, atau mengurangi efek terapi.

Interaksi obat modern dengan makanan atau minuman yang mengandung zat tertentu bisa merugikan jika tidak jelas aturan pakainya. Misalnya, minum alkohol dengan asetosal dapat menyebabkan perdarahan lambung, minuman kaya CO2 (minuman ringan) berpotensi menyebabkan perdarahan kapiler jika diminum dengan obat penurun tekanan darah tinggi.

Dosis pemakaian
"Efek toksik obat herbal bisa dihindari jika cara pemakaian benar dan sudah diuji praklinik dan uji klinik, seperti dilakukan pada obat konvensional," kata Rifatul. Untuk menghindari ekses pada obat herbal, Badan POM mendorong uji khasiat dan keamanan sebelum obat herbal dapat izin edar. Hingga kini, jumlah obat herbal terstandar 19 produk dan fitofarmaka baru 5 produk.

Standardisasi obat herbal lebih tepat dilakukan jika diterapkan kaidah "Cara yang Benar" pada proses pembibitan hingga produksi. "Dalam rangka harmonisasi obat tradisional tingkat ASEAN, pemerintah perlu melakukan standardisasi obat herbal untuk menjamin mutu dan keamanan produk, di antaranya diuji toksisitasnya dan uji klinik," ujar Charles Saerang, Ketua Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia.

Pengusaha jamu Irwan Hidayat menambahkan, sejauh ini mayoritas perusahaan jamu telah memproduksi jamu berdasarkan referensi berstandar internasional sesuai dengan aturan Badan POM. "Jika ada obat herbal di luar referensi, bisa diuji toksisitasnya untuk meningkatkan kepercayaan konsumen," kata Irwan.

Sumber : kompas.co.id